Teori eksistensial-humanistik menekankan renungan filosofi tentang apa artinya
menjadi manusia. Banyak para ahli psikologi yang berorientasi
eksistensial,mengajukan argumen menentang pembatasan studi tingkah laku pada
metode-metode yang digunakan oleh ilmu alam.
Teori eksistensial-humaanistik tidak
memiliki teknik-teknik yang ditentukan secara ketat. Prosedur-prosedur konseling
bisa dipungut dari beberapa
teori konseling lainnya. Metode-metode
yang berasal dari
teoriGestalt dan Analisis Transaksional sering digunakan, dan sejumlah
prinsip dan prosedur psikoanalisis bisa diintegrasikan kedalam teori
eksistensial-humanistik. Buku The Search
for "Authenticity
(1965) dari Bugental adalah sebuah
karya lengkap yang
mengemukakan konsep-konsep dan prosedur-prosedur psiko konseling eksistensial yang
berlandaskan model psikoanalitik.
Ia menggunakan kerangka
psikoanalitik untuk
menerangkan fase kerja konselingyang berlandaskan konsep-konsep eksistensial seperti
kesadaran, emansipasi dan
kebebasan, kecemasan eksistensial,
dan neurosis eksistensial.
Rollo May, seorang psikoanalisis
Amerika yang diakui luas atas
pengembangan psikokonseling
eksistensial di Amerika, juga telah mengintegrasikan metodologi
dan konsep-konsep psikoanalisis ke dalam psikokonseling
eksistensial. Pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang
menempati kedudukan sentral
dalam konseling adalah: Seberapa besar saya menyadari siapa saya ini? Bisa
menjadi apa saya ini? Bagaimana saya bisa memilih menciptakan kembali identitas
diri saya yang
sekarang? Seberapa besar
kesanggupan saya untuk menerima
kebebasan memilih jalan
hidup saya sendiri?
Bagaimana
saya mengatasi kecemasan
yang ditimbulkan oleh
kesadaran atas pilihan-pilihan? Sejauh mana
saya hidup dari
dalam pusat diri
saya sendiri? Apa yang saya lakukan untuk menemukan makna hidup ini? Apa
saya menjalani hidup, ataukah saya hanya puas atas keberadaan saya? Apa yang
saya lakukan untuk membentuk identitas pribadi yangsaya inginkan? Pada pembahasan
di bawah ini
diungkap dalil-dalil yang
mendasari praktek
konseling
eksistensial-humanistik.
Konsep
Dasar Tentang Manusia
Pendekatan
Eksistensial-humanistik berfokus pada diri manusia. Pendekatan ini mengutamakan
suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia. Pendekatan
Eksisteneial-Humanistik dalam konseling menggunakan sistem tehnik-tehnik yang
bertujuan untuk mempengaruhi konseli. Pendekatan terapi eksistensial-humanistik
bukan merupakan terapi tunggal, melainkan suatu pendekatan yang mencakup
terapi-terapi yang berlainan yang kesemuanya berlandaskan konsep-konsep dan
asumsi-asumsi tentang manusia.
Konsep-konsep
utama pendekatan eksistensial yang membentuk landasan bagi praktek konseling,
yaitu:
1.
Kesadaran Diri
Manusia memiliki
kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang unik dan
nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir dan memutuskan. Semakin kuat
kesadaran diri seorang, maka akan semakin besar pula kebebasan yang ada pada
orang itu. Kesadaran untuk memilih alternatif-alternatif yakni memutuskan
secara bebas didalam kerangka pembatasnya adalah suatu aspek yang esensial pada
manusia. Kebebasan memilih dan bertindak itu disertai tanggung jawab. Para
ekstensialis menekan manusia bertanggung jawab atas keberadaan dan nasibnya.
2.
Kebebasan, tanggung jawab, dan kecemasan
Kesadaran atas kebebasan
dan tanggung jawab bisa menimbulkan kecemasan yang menjadi atribut dasar pada
manusia. Kecemasan ekstensial bisa diakibatkan atas keterbatasannya dan atas
kemungkinan yang tak terhindarkan untuk mati (nonbeing). Kesadaran atas
kematian memiliki arti penting bagi kehidupan individu sekarang, sebab
kesasaran tersebut menghadapkan individu pada kenyataan bahwa dia memiliki
waktu yang terbatas untuk mengaktualkan potensi-potensinya. Dosa ekstensial
yang juga merupakan bagian kondisi manusia. Adalah akibat dari kegagalan
individu untuk benar-benar menjadi sesuatu sesuai dengan kemampuannya.
3.
Penciptaan Makna
Manusia itu unik dalam arti bahwa
ia berusaha untuk menentukan tujuan hidup dan menciptakan nilai-nilai yang akan
memberikan makna bagi kehidupan. Menjadi manusia juga berarti menghadapi
kesendirian (manusia lahir sendirian dan mati sendirian pula). Walaupun pada
hakikatnya sendirian, manusia memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan
sesamanya dalam suatu cara yang bermakna, sebab manusia adalah mahluk rasional.
Kegagalan dalam menciptakan hubungan yang bermakna bisa menimbulkan
kondisi-kondisi isolasi dipersonalisasi, alineasi, kerasingan, dan kesepian.
Manusia juga berusaha untuk mengaktualkan diri yakni mengungkapkan
potensi-potensi manusiawinya. Sampai tarap tertentu, jika tidak mampu
mengaktualkan diri, ia bisa menajdi “sakit”.
Sumber
:
Feist,
J & Feist, G. 2010. Theories of Personality (7th ed). New York: Mc Graw
Hill.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar